Aku duduk terdiam di tengah kota yang menakutkan ini. Yah, seharusnya aku sudah merebahkan badanku di ranjang tempatku berlabuh di kota ini. Namun apa daya. Kesendirian, itulah yang aku rasa. Sejenak berfikir, apakah aku orang yang tertutup? Ataukah aku individualis dan tidak berkawan? Ataukah aku cuma seonggok daging saja? Ah, pikiran macam apa ini. Jauh-jauh aku buang pikiran ini, tentu. Aku sadar bahwa ilmu adalah hal utama yang kita bisa raih di dunia ini saat ini. Maka itu pula lah alasanku membiarkan diriku sendiri saat ini. Aku sadar bahwa tanggung jawab adalah salah satu pertanggungan kita nanti.
"Tak ada yang lain kah?", pertanyaan ini menohok seluruh isi kepalaku. Perlahan seluruh album kenangan berputar. Dan aku tersadar, sepertinya aku hanya mampu menyebut beberapa nama yang mungkin sejak dulu hanya itu yang mampu aku sebut. 2 Sahabat dan kamu. Sedangkan yang lainnya aku tak mampu bahkan berani menyebutnya. Dan aku serahkan pada Tuhan, akankah aku sendiri di sini ataukah ada malaikat yang datang.
Adzan berkumandang, ku pandang langit dan aku berdialog dengan Tuhanku. Hanya aku dan Tuhanku yang tahu. Aku menunggu.
Aku mengerti, meskipun terlambat. Bukan karna saat ini, tapi memang karna aku mengerti sejak beberapa dekade lalu. Ah dasar aku terlalu egois, ah dasar aku terlalu sombong, ah dasar aku wanita terburuk. Betapa aku sungguh anak kecil yang belum mampu membedakan baik dan buruk. Betapa aku terlalu anak kecil yang ternyata begitu begisnya cara pandangku.
Yah, begitulah kehidupan. Begitulah cara Tuhan memberi tahu kita, mengajari kita dengan waktu yang telah terlewat.
Di tempat ibadah ini, di samping tempatmu duduk terdiam. Sebuah botol minum yang masih rapat begitu saja kau tinggalkan. Ingin aku menyapa, botol siapa itu dan untuk apakah itu. Namun, tak ada sisa nyali untukku bertanya. Aku terlalu banyak mendapatkan pertolonganmu.
***
"Tak ada yang lain kah?", pertanyaan ini menohok seluruh isi kepalaku. Perlahan seluruh album kenangan berputar. Dan aku tersadar, sepertinya aku hanya mampu menyebut beberapa nama yang mungkin sejak dulu hanya itu yang mampu aku sebut. 2 Sahabat dan kamu. Sedangkan yang lainnya aku tak mampu bahkan berani menyebutnya. Dan aku serahkan pada Tuhan, akankah aku sendiri di sini ataukah ada malaikat yang datang.
Adzan berkumandang, ku pandang langit dan aku berdialog dengan Tuhanku. Hanya aku dan Tuhanku yang tahu. Aku menunggu.
Aku mengerti, meskipun terlambat. Bukan karna saat ini, tapi memang karna aku mengerti sejak beberapa dekade lalu. Ah dasar aku terlalu egois, ah dasar aku terlalu sombong, ah dasar aku wanita terburuk. Betapa aku sungguh anak kecil yang belum mampu membedakan baik dan buruk. Betapa aku terlalu anak kecil yang ternyata begitu begisnya cara pandangku.
Yah, begitulah kehidupan. Begitulah cara Tuhan memberi tahu kita, mengajari kita dengan waktu yang telah terlewat.
Di tempat ibadah ini, di samping tempatmu duduk terdiam. Sebuah botol minum yang masih rapat begitu saja kau tinggalkan. Ingin aku menyapa, botol siapa itu dan untuk apakah itu. Namun, tak ada sisa nyali untukku bertanya. Aku terlalu banyak mendapatkan pertolonganmu.
Aku bukan bercerita tentang masa lalu, merindu atau bahkan mengharap kembali untuk masa lalu itu. Aku hanya belajar dari masa lalu itu. Kamu laki-laki hebat yang pernah aku temui. Dan aku berdoa yang terbaik untuk kehidupanmu dan kebahagianmu.Mungkin beginilah cara Tuhan, cara Tuhan mendewasakan umatnya.
Jakarta, November 2017 | ©www.anitasarisukardi.com
Image Source: Personal Album
Image Source: Personal Album
0 komentar :
Posting Komentar