Anita Sari Sukardi Mom's (Supini) |
Tak akan pernah cukup buih di lautan menggantikan cinta yang beliau berikan kepada kita. Cinta tanpa syarat!
Tak akan pernah ada yang menggantikan wanita asli keturunan jawa, berparas mempesona dan tidak semampai ini. Yah dia adalah mamahku. Aku tak bergeming jika orang lain selalu membandingkan beliau dengan wanita lain yang jauuuh berbeda. Bagiku mamah tetap wanita tercantik untukku meskipun aku akui beliau memiliki banyak kekurangan sebagai seorang manusia.
Bohong rasanya kalau aku dulu tak malu ketika ditanya "Ibunya bekerja sebagai apa?", namun kini anggapan itu sudah tak pernah ada lagi dalam benakku. Yah karena aku sekarang paham betul begitu beratnya status "Ibu rumah tangga".
Mamahku memang tak menempuh pendidikan, pernah suatu ketika mamah bercerita "Dulu mbahmu itu, ndak suka melihat mama sekolah. Yen wis wayahe sekolah, mesti dikon ning kebon. Wis ning kebon ae, sesuk esoh mangan. Sekolah dienggo opo, sing penting mangan!" Aku paham betul begitu beliau menyesali hal tersebut. Tak bisa belajar, hanya manut dan manut. Mamahku menikah muda saat itu, dengan seorang lelaki yang berani datang meminta kepada kakekku hanya karena tertarik pada pandangan pertama ke mamah. Yah, dia abahku yang kini menjadi mantan suami dari mamahku.
Beberapa bagian kisahnya ada andilnya diriku. Seperti saat saat itu aku yang baru bisa merangkak, mamahku diuji dengan kehilangan anak ke duanya. Di saat suaminya sibuk bekerja, beliau harus kuat memikul beban kehilangan itu. Beliau menahan tangisnya ketika aku bertanya, "Mama mbak kemana?". Mamah selalu mengerjakan keperluan rumah tangga dan pekerja meubel abah sendiri tanpa campur tangan orang lain. Lelahnya mengurus dua orang putri pasti tak mudah, apalagi aku. Aku anak terbandel sejagad raya mungkin menurut mamahku. Aku tipikal manja yang ketika meminta "sesuatu" harus aku didapatkan. Mengamuk di pasar, nangis sejadi-jadinya dan tak mau beranjak dari toko adalah senjataku waktu itu. Suatu ketika mamahku memiliki pembantu, sayangnya pembantu itu tak berperangai baik. Dan alhasil membuat mamahku trauma. Di episode lain, ketika rumah tangga mamah diuji dengan hadirnya orang ketika pertama kali. Kekerasan rumah tangga yang sering kita saksikan di sinetron-sinetron itu bukan hanya angan-angan semata. Nyatanya mamahku melewati itu semua. Mamahku memelukku erat di saat terberat itu, aku yang tak paham apa-apa kala itu cuma diam dan menepis air matanya saja. Episode-episode selanjutnya terus berlanjut pada kisah yang sudah tak mampu lagi diselamatkan. Di tahun 2013, pengkhianatan ke sekian kalinya. Akhirnya mamahku memutuskan berpisah.
Kini usiaku seperempat abad lewat ini, aku menangisi begitu aku belum mampu membuat mamahku bangga. Di detik ini pula, tak ada secuil kata untuk mampu membandingkan diri dengan mamah. Aku selalu berfikir, apa aku bisa menjadi seorang ibu sekuat mamah? Apa aku sanggup menjadi seorang istri yang merawat dan membesarkan anak seperti aku dan mba? Ah Tuhan, hanya pada-Mu aku memohon. Memohon segala yang terbaik, memohon untuk engkau mampukan aku menjadi penyejuk bagi Mamahku, mampukan aku untuk membuatnya bangga, membuatnya tersenyum.
Janjiku, akulah yang akan merawatmu di usia rentamu nanti. Akan aku gendong mamah kalau mamah tak sanggup lagi berjalan. Memandikan mamah, seperti aku waktu kecil. Mengganti suapan makanan yang sampai saat ini masih aku meminta padamu. Memakaikan baju, menggantikan popok, semuanya, segalanya.
Ya Allah, ijinkan aku menemani mamah untuk berhaji yang dijadwalkan 2021. Aku tak ingin beliau sendiri menunaikan perintahmu.
Ya Allah, ijinkan hamba untuk berbuat bakti kepada mamah. Ijinkan anak-anak, cucu, dan generasi penerusku mampu mengenalnya dengan baik, belajar yang terbaik dari beliau. Amin.
Jika tak ada seorang pun yang mengenal mamahku, ijinkan aku mengenang beliau dengan coretan kecil ini. Mamahku, Supini.
Bohong rasanya kalau aku dulu tak malu ketika ditanya "Ibunya bekerja sebagai apa?", namun kini anggapan itu sudah tak pernah ada lagi dalam benakku. Yah karena aku sekarang paham betul begitu beratnya status "Ibu rumah tangga".
Mamahku memang tak menempuh pendidikan, pernah suatu ketika mamah bercerita "Dulu mbahmu itu, ndak suka melihat mama sekolah. Yen wis wayahe sekolah, mesti dikon ning kebon. Wis ning kebon ae, sesuk esoh mangan. Sekolah dienggo opo, sing penting mangan!" Aku paham betul begitu beliau menyesali hal tersebut. Tak bisa belajar, hanya manut dan manut. Mamahku menikah muda saat itu, dengan seorang lelaki yang berani datang meminta kepada kakekku hanya karena tertarik pada pandangan pertama ke mamah. Yah, dia abahku yang kini menjadi mantan suami dari mamahku.
Beberapa bagian kisahnya ada andilnya diriku. Seperti saat saat itu aku yang baru bisa merangkak, mamahku diuji dengan kehilangan anak ke duanya. Di saat suaminya sibuk bekerja, beliau harus kuat memikul beban kehilangan itu. Beliau menahan tangisnya ketika aku bertanya, "Mama mbak kemana?". Mamah selalu mengerjakan keperluan rumah tangga dan pekerja meubel abah sendiri tanpa campur tangan orang lain. Lelahnya mengurus dua orang putri pasti tak mudah, apalagi aku. Aku anak terbandel sejagad raya mungkin menurut mamahku. Aku tipikal manja yang ketika meminta "sesuatu" harus aku didapatkan. Mengamuk di pasar, nangis sejadi-jadinya dan tak mau beranjak dari toko adalah senjataku waktu itu. Suatu ketika mamahku memiliki pembantu, sayangnya pembantu itu tak berperangai baik. Dan alhasil membuat mamahku trauma. Di episode lain, ketika rumah tangga mamah diuji dengan hadirnya orang ketika pertama kali. Kekerasan rumah tangga yang sering kita saksikan di sinetron-sinetron itu bukan hanya angan-angan semata. Nyatanya mamahku melewati itu semua. Mamahku memelukku erat di saat terberat itu, aku yang tak paham apa-apa kala itu cuma diam dan menepis air matanya saja. Episode-episode selanjutnya terus berlanjut pada kisah yang sudah tak mampu lagi diselamatkan. Di tahun 2013, pengkhianatan ke sekian kalinya. Akhirnya mamahku memutuskan berpisah.
Kini usiaku seperempat abad lewat ini, aku menangisi begitu aku belum mampu membuat mamahku bangga. Di detik ini pula, tak ada secuil kata untuk mampu membandingkan diri dengan mamah. Aku selalu berfikir, apa aku bisa menjadi seorang ibu sekuat mamah? Apa aku sanggup menjadi seorang istri yang merawat dan membesarkan anak seperti aku dan mba? Ah Tuhan, hanya pada-Mu aku memohon. Memohon segala yang terbaik, memohon untuk engkau mampukan aku menjadi penyejuk bagi Mamahku, mampukan aku untuk membuatnya bangga, membuatnya tersenyum.
Janjiku, akulah yang akan merawatmu di usia rentamu nanti. Akan aku gendong mamah kalau mamah tak sanggup lagi berjalan. Memandikan mamah, seperti aku waktu kecil. Mengganti suapan makanan yang sampai saat ini masih aku meminta padamu. Memakaikan baju, menggantikan popok, semuanya, segalanya.
Ya Allah, ijinkan aku menemani mamah untuk berhaji yang dijadwalkan 2021. Aku tak ingin beliau sendiri menunaikan perintahmu.
Ya Allah, ijinkan hamba untuk berbuat bakti kepada mamah. Ijinkan anak-anak, cucu, dan generasi penerusku mampu mengenalnya dengan baik, belajar yang terbaik dari beliau. Amin.
Jika tak ada seorang pun yang mengenal mamahku, ijinkan aku mengenang beliau dengan coretan kecil ini. Mamahku, Supini.
Jakarta, Juni 2017 | ©www.anitasarisukardi.com
Image Source: Personal Album
0 komentar :
Posting Komentar