Tertabrak Bus Transjakarta
***
"Brukkk!"
Gue terbengong meratapi badan yang sudah tertindih. Berat!
Beberapa orang memandang gue. Bapak-bapak relawan jalan, beberapa pengguna jalan, dan tak terkecuali supir bus transjakarta. Mereka tak tega kali ya hendak mencaci atau bahkan teriak ke gue. Mereka dengan muka kasihan cuma berdehem. Hanya berpesan, "hati-hati ya dek lain kali!"
Oke. Gue yang salah. Otak gue terbang kemana-mana waktu gue dalam perjalanan. Perasaan gue gundah, menggundahi angan-angan yang tak jelas dan tak nyata (abstrak, fana).
Sedetik setelah tragedi naas di awal pagi itu, gue langsung melanjutkan perjalanan demi ujian tengah semester. Gue harus memendam perasaan gue, buat mikir yang engga-enggak. Gue secepat kilat bangun dan berjuang buat gelar sarjana gue yang tinggal menghitung waktu.
Ujian selesai. Setidaknya satu moment terlewati.
"Ya Allah, melas amet sih awak! Udah ga ikut gathering kantor ke taman safari. Ga ikut pembukaan acara donor darah di Bandung. Pagi-pagi pake dicium bis transjakarta. Badan sakit semua. Tugas kulyah menumpuk. Tugas kantor membanjir. ATM hilang. Belum punya rumah. Emak sendirian di rumah. Nikah juga belum. Ada beberapa hutang yang belum kebayar. Ya Allah, kapan awak bahagia. Ya Allah, matikan saya dengan sebaik-baiknya keadaan."
Pada akhirnya gue mengeluh juga ketika jalan pulang, padahal Allah memberikan nikmat yang jauh lebih banyak. Mungkin gue tak bisa bersyukur. Mungkin gue yang kurang bisa mengatur diri, dan gue banyak dosa sehingga Allah menimpakan ujian ke gue.
Dalam hati masih mikir, "Alhamdulillah. Untung si supir transjakarta ga marah. Untung gue ga dituntut si bapak. Untung gue cuma ketindih motor, bayangin klu kejadian jaman STM keulang. Gue ngesot sama motor sepanjang 100 meter, rok sekolah sampai berlubang". Kalau kalian nanya ke gue kenapa bisa begitu, gue juga ga tau musti jawab apa. Orang-orang sih mandang gue yang salah. Karna waktu gue mau puter balik, gue sama sekali ga lihat itu body-nya transjakarta. Cuma yang gue aneh dari rumah itu emang ngrasa ada sesuatu yang ga bisa dijelaskan dengan kata-kata. Blur!
"Ngabarin enggak. Ngabarin enggak."
Okeh gue ngabarin mamah tercinta. Panik beliau, nyuruh ke dokter minum obat dan segala macamnya. Duh mamah, pening pala awak. ATM ndug kan ilang.
Lanjut ngabarin abah. Antara panik dan engga, gue ga tahu mana yang tepat. "Read Only" yang dilambangin dua garis centrang warna biru di layar whatsapp.
Ngabarin mas diyan. Cuma "trus jatoh?" dan pengalihan crita yang lain. Gue juga ga gitu ngerti perhatian atau engga.
Ngabarin ibuuuk. Panjang lebar. Yang penting gue tau, ibuk merhatiin gue dong. Hahaha.
Ngabarin abang awir. Abang bilang "Bis-nya kesemsem". Hadeh, abang ngiranya sih gue becanda. Maklum sih ya, kan gue pecicilan.
Semua yang terjadi pada diri kita, sungguh itu adalah rencana dan jalan terindah yang Allah berikan kepada kita. Sekiranya kita tidak mendapatkan yang selalu baik maka haruslah kita menikmatinya dengan sabar, walaupun ketika kita diuji hal yang baik pun harus bersabar.
Allah selalu memberikan kita kesempatan untuk kita menuju jalan lurusnya. Termasuk gue pagi itu. Allah masih memberikan gue kesempatan untuk bertaubat, dan untuk lebih mencintai-Nya dibanding dengan apapun.
Selagi masih ada waktu, mari berusaha yang terbaik.
Gue inget pesan ustadzah banna, "Allah akan membuat hamba yang ia cintai menjadi lebih bermanfaat ketika hambanya itu mendekati ajalnya".
Dan gue pun berharap begitu.
Menuju 26 tahun, dan gue mulai menggalau. Belum mampu berbuat banyak.
Beberapa orang memandang gue. Bapak-bapak relawan jalan, beberapa pengguna jalan, dan tak terkecuali supir bus transjakarta. Mereka tak tega kali ya hendak mencaci atau bahkan teriak ke gue. Mereka dengan muka kasihan cuma berdehem. Hanya berpesan, "hati-hati ya dek lain kali!"
Oke. Gue yang salah. Otak gue terbang kemana-mana waktu gue dalam perjalanan. Perasaan gue gundah, menggundahi angan-angan yang tak jelas dan tak nyata (abstrak, fana).
Sedetik setelah tragedi naas di awal pagi itu, gue langsung melanjutkan perjalanan demi ujian tengah semester. Gue harus memendam perasaan gue, buat mikir yang engga-enggak. Gue secepat kilat bangun dan berjuang buat gelar sarjana gue yang tinggal menghitung waktu.
Ujian selesai. Setidaknya satu moment terlewati.
"Ya Allah, melas amet sih awak! Udah ga ikut gathering kantor ke taman safari. Ga ikut pembukaan acara donor darah di Bandung. Pagi-pagi pake dicium bis transjakarta. Badan sakit semua. Tugas kulyah menumpuk. Tugas kantor membanjir. ATM hilang. Belum punya rumah. Emak sendirian di rumah. Nikah juga belum. Ada beberapa hutang yang belum kebayar. Ya Allah, kapan awak bahagia. Ya Allah, matikan saya dengan sebaik-baiknya keadaan."
Pada akhirnya gue mengeluh juga ketika jalan pulang, padahal Allah memberikan nikmat yang jauh lebih banyak. Mungkin gue tak bisa bersyukur. Mungkin gue yang kurang bisa mengatur diri, dan gue banyak dosa sehingga Allah menimpakan ujian ke gue.
Dalam hati masih mikir, "Alhamdulillah. Untung si supir transjakarta ga marah. Untung gue ga dituntut si bapak. Untung gue cuma ketindih motor, bayangin klu kejadian jaman STM keulang. Gue ngesot sama motor sepanjang 100 meter, rok sekolah sampai berlubang". Kalau kalian nanya ke gue kenapa bisa begitu, gue juga ga tau musti jawab apa. Orang-orang sih mandang gue yang salah. Karna waktu gue mau puter balik, gue sama sekali ga lihat itu body-nya transjakarta. Cuma yang gue aneh dari rumah itu emang ngrasa ada sesuatu yang ga bisa dijelaskan dengan kata-kata. Blur!
***
"Ngabarin enggak. Ngabarin enggak."
Okeh gue ngabarin mamah tercinta. Panik beliau, nyuruh ke dokter minum obat dan segala macamnya. Duh mamah, pening pala awak. ATM ndug kan ilang.
Lanjut ngabarin abah. Antara panik dan engga, gue ga tahu mana yang tepat. "Read Only" yang dilambangin dua garis centrang warna biru di layar whatsapp.
Ngabarin mas diyan. Cuma "trus jatoh?" dan pengalihan crita yang lain. Gue juga ga gitu ngerti perhatian atau engga.
Ngabarin ibuuuk. Panjang lebar. Yang penting gue tau, ibuk merhatiin gue dong. Hahaha.
Ngabarin abang awir. Abang bilang "Bis-nya kesemsem". Hadeh, abang ngiranya sih gue becanda. Maklum sih ya, kan gue pecicilan.
Semua yang terjadi pada diri kita, sungguh itu adalah rencana dan jalan terindah yang Allah berikan kepada kita. Sekiranya kita tidak mendapatkan yang selalu baik maka haruslah kita menikmatinya dengan sabar, walaupun ketika kita diuji hal yang baik pun harus bersabar.
Allah selalu memberikan kita kesempatan untuk kita menuju jalan lurusnya. Termasuk gue pagi itu. Allah masih memberikan gue kesempatan untuk bertaubat, dan untuk lebih mencintai-Nya dibanding dengan apapun.
Selagi masih ada waktu, mari berusaha yang terbaik.
Bukankah tak perlu mati dulu lalu bertaubat? Bukankah tak perlu menyesal ketika sudah diliang lahat?
Gue inget pesan ustadzah banna, "Allah akan membuat hamba yang ia cintai menjadi lebih bermanfaat ketika hambanya itu mendekati ajalnya".
Dan gue pun berharap begitu.
Menuju 26 tahun, dan gue mulai menggalau. Belum mampu berbuat banyak.
Jakarta, 20 November 2017 | ©www.anitasarisukardi.com
Image Source: Mbah Google Album