Mudik 2018 ke Leboh Riau, Ramadhan 1439H
Leboh (Kepulauan Riau), 2018 |
Alhamdulillah bisa posting pertama setelah saya menyandang status #IstriBapakRiyan. Perjalanan menjadi seorang istri tak mudah memang, berawal dari merasa #guemasihsingle (karena selama satu bulan lebih saya dan suami harus LDR. Beliau di Bandung dan saya di Jakarta) sampai benar-benar menjadi istri.
***
Hunting tiket sudah kami lakukan setelah kami menikah, namun apa daya tetap saja berakhir dengan cuci mata saja yang pada akhirnya tiket terbeli 1-2 bulan menjelang keberangkatan yang nyatanya tiket lumayan mahal guys.
Kami memasuki ramadhan, ah rasanya ada yang hilang. Jikalau tahun lalu saya banyak berkutat dengan masjid dan anak-anak kecil. Kali ini berbeda, saya lebih banyak berkutat di rumah. Karena begitulah yang suami awak mau. Sedih pastilah, tapi saya percaya akan janji Allah kepada hamba-Nya.
2 Minggu sebelum keberangkatan. Sudah hampir satu minggu ada yang salah dengan badan saya. Terlalu sering mual, dan saya merasa badan ini mulai mudah lelah. Lalu saya mulai memberanikan diri mencari informasi tentang tanda-tanda kehamilan. Saat saya sudah merasa tidak sanggup lagi menahan mual dan muntah, akhirnya kami membeli testpack. Saya tertegun melihat hasilnya, berfikir "Begini ya kalau hamil? Dua strip merah?" lalu saya foto hasil testpack-nya dan langsung saya kirim ke telegram suami awak. Balasan datar melayang dari beliau, "hamil". Sesudahnya kami memutuskan untuk periksa kehamilan ke dokter kandungan. Dokter yang berjodoh dengan bayik adalah Dr. Hanny Rono di RS. Santosa Hospital.
Dr. Hanny tak langsung melakukan USG kepada bayik, beliau bilang akan percuma karena bayik masih kecil dan baru berupa kantong saja. Menjelang pulang seusai konsultasi kami diberi oleh-oleh Muratal Quran untuk diselesaikan khatam ketika ramadhan. Alhamdulillah.
***
Bismillah ya bayik, kita mudik. Mamah tau bayik kuat. Mamah sayang bayik, pabun juga sayang bayik. Let's go!!!
Perjalanan panjang kami mulai bertiga. Sebenarnya banyak yang khawatir, karna umur bayik masih sangat kecil. Mamahnya yang tak sekuat ketika lajang pun jadi penambah haru suasana. Tengah malam kami menuju ke Stasiun Kiara Condong untuk keberangkatan ke Jakarta. Kami sampai di Jakarta menjelang subuh. Kemudian kami langsung memesan go-car menuju Bandara Soekarno Hatta. Setelah menunggu sejenak di Bandara, akhirnya kami terbang menuju Batam. Dalam hati tak henti-hentinya saya bersyukur, akhirnya saya bisa sampai di bagian utara Indonesia selain Bangka Belitung. Mengingat memori masa lalu yang hampir hilang, ternyata dulu suami awak pernah berujar bahwa ia akan membawa saya ke Riau. Saya pikir dulu itu hanya bualan semata, karena kami masih remaja. Tentu saja itu saya anggap hanyalah rayuan cowo tengil kepada seorang wanita.
Sesampainya di Batam, kami langsung menuju Pelabuhan Sekupang untuk menuju ke Balai Karimun. Lalu dilanjutkan perjalanan ke Pulau Leboh. Kapal di sini banyak dan jadwal keberangkatannya berbeda-beda. Perjalanan dari Batam menuju Balai Karimun kurang lebih satu setengah jam. Kami menggunakan kapal Miko. Kata suami awak, nama perusahaan PT. Miko Natalia diambil dari nama pasangan suami istri.
Sesampainya di Balai Karimun, kami sudah di jemput oleh Bulek Tini. Beliau adalah istri dari Om Man. Awalnya kami berfikir akan meginap semalam di Balai. Dalam hati saya berdoa, agar kami bisa langsung sampai ke Leboh tanpa menginap di Balai. Doa saya ternyata diijabah oleh Allah. Setelah bulek bertanya ke sana kemari, alhamdulillah ada jadwal kapal menuju Pulau Leboh. Kami pun langsung memutuskan untuk berangkat ke Leboh menggunakan kapal Miko lagi.
Di kapal saya memutuskan untuk duduk di dekat pintu masuk kapal atas ijin dari suami awak. Banyak orang bertanya menggunakan Bahasa Melayu, dan itu sukses membuat saya cengoh (tidak paham). Saya tak mengerti sedikitpun pertanyaan-pertanyaan orang melayu ini. Saya lebih sering menjawab pertanyaan dengan senyum.
Sepanjang perjalanan, saya lebih sering mengobrol dengan bayik. Beberapa rayuan kepada bayik semisal agar ia kuat, bayik hebat bisa ikut mudik, bayik sebentar lagi bertemu dengan uyut dan masih banyak lagi perbincangan dengan bayik yang hanya saya dan bayik yang tahu apa isi perbincangan kami. Sembari memandangi lautan lepas, kapal beberapa kali berhenti di beberapa pulau untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Beberapa pulau itu antara lain Buru, Penara dan ada beberapa lagi yang saya sudah lupa.
Sesampainya di Leboh kami dijemput oleh Om Man dan Dek Sekar. Jarak antara rumah Tuk dengan pelabuhan sangat dekat. Hanya membutuhkan waktu 3 menit (bahkan kurang) untuk sampai di rumah Tuk. Kami lelah sekali, sambil selonjoran kami menunggu waktu berbuka. Waktu berbuka di Leboh terasa sangat lama. Hanya hamdalah dan istighfar yang mampu membunuh waktu kala itu.
***
Pengalaman ajaib di Leboh adalah waktu terasa sangatlah lama padahal sama saja dengan waktu di belahan Bandung atau Jakarta. Selain itu jika kalian adalah anak milineal yang tiap waktu dan tiap saat tak bisa lepas dengan internet maka Leboh adalah neraka guys. Only Telkomsel yang ada sinyal, itupun E jika belum jam 5 sore sampai 7 pagi, di luar jam itu maka kalian akan tercengang mendapatkan H+. Bersabar adalah senjata pertama dan terakhir jika ingin berinternetan di Leboh. Selain itu, listrik pun menyala di jam yang sama. Suami awak bercerita bahwa kondisi saat ini di Leboh jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, sebelum ada pembangunan oleh pemerintah. Lantas aku pun berfikir, kenapa baru pemerintahan sekarang (Pemerintahan Jokowi) yang mau memikirkan daerah pelosok Indonesa, kenapa dari dulu selalu pulau Jawa? Ah sugguh, terima kasih Pak Jokowi.
***
Lebaran kali ini berbeda, karena statusku baru. Karena aku mempunyai keluarga baru.
Pagi-pagi aku begitu bahagia karena Allah menyampaikanku pada Ied 1439H ini dengan adanya bayik dalam rahimku. Dengan penuh semangat aku mengenakan baju yang sudah aku persiapkan ketika di Bandung untuk menyambut lebaran kali ini. Tak baru memang, tapi istimewa. Baju pemberian suami sebagai seserahan pernikahan. Ketika shalat ied, entah kenapa tiba-tiba saja air mata mengalir begitu saja mengingat tahun ini aku hanya mampu mengirim barang ke rumah orang tuaku tanpa kehadiranku di lebaran kali ini. Selesai shalat, saya pulang ke rumah Tuk. Ada sedikit sesak rasanya. Saya membayangkan bagaimana beratnya mamah berlebaran di rumah sendirian. Saya pun tidak bisa berbuat apapun, tak ada sinyal. Saya hanya berharap semoga mamah mengerti dan keluarga yang lain pun melakukan hal yang sama.
Berbeda daerah, berbeda budaya. Dan itulah yang aku lihat kali ini. Di Leboh tak ada kebiasaan sungkeman sebagai tanda wujud permintaan maaf dari yang paling muda ke yang paling tua seperti di Jawa. Tak ada memberi uang jajan untuk anak-anak kecil juga. Mungkinkah tradisi ini yang membuat seseorang menjadi malas untuk meminta maaf dan berterima kasih? Entahlah.
***
Hari berlalu, dan akhirnya saya akan segera mengakhiri masa liburan di Leboh. Sehari sebelum penerbangan kami menginap di rumah Om Man (Balai Karimun). Dari Leboh saya berangkat terlebih dahulu dengan bulek Tini ke Balai Karimun. Rasanya surga, akhirnya bisa menikmati listrik 24 jam, akhirnya bisa mendapatkan sinyal, dan yang paling berharga adalah saya bisa berkeliling di Balai.
Saya dan bulek berkeliling menggunakan motor, rasanya sangat nikmat. Keinginan untuk makan mie ayam pun akhirnya terwujud, dan rasa mie ayam-nya JUARA guys. Enak sekali. Super duper mantap. Dan di sinilah saya baru paham kalau KEPRI itu adalah singkatan dari Kepulauan Riau. Oh my lord.
Sore harinya om Man dan suami baru tiba di Balai. Dari penjelasan suami, ada beberapa kapal yang melewati Leboh namun tak mengambil penumpang di Leboh yang kemudian ketika kembali ke rumah, Tuk menertawakan suami awak. Alhasil mereka baru berangkat ketika sore menjelang.
Bandara Hang Nadim Batam |
Salah Satu Pulau Sebelum Sampai di Leboh |
Pelabuhan Leboh yang Tidak Jauh dari Rumah Tuk |
Masjid Sholat Tarawih dan Ied yang Tidak Jauh dari Rumah Tuk |
Balai Karimun, Rumah Om Man |
Bakso Arema, Mie Ayam Super Lezat |
Bus Kota Balai Karimun |
Steak Ala Bulek Tini |
Bandung, 30 Juni 2018 | ©www.anitasarisukardi.com
Image Source: Personal Album