Pengalaman Hamil & Kelahiran Anak Pertama
Hidup itu lucu, ya...
Yang dicari, hilang..
Yang dikejar, lari...
Yang ditunggu, pergi...
Sampai hari kita lelah dan berserah.
Saat itu semesta bekerja.
***
Mei 2018,
Sudah ramadhan.
Pagi itu seperti tak biasa karena beberapa hari sebelumnya badan gue terasa sangat tidak nyaman. Akhirnya setelah beberapa hari sebelumnya membeli test pack, dengan rasa deg-degan antara siap dan tidak siap kepake juga test pack itu.
Semenit,
Dua menit,
Beberapa menit selanjutnya.
Dan eng ing eng,
Engga merah banget sih. Tapi dua garis. Karena gue bingung lalu gue foto dan kirim ke suami. Kata dia "HAMIL". Alhamdulillah gue hamil.
 |
Hasil Test Pack |
Gue sebenarnya takut, bisa disebut tak siap dengan kehamilan ini. Ya memang karena gue pengen sekali jalan-jalan, belajar, mengejar karir dan melakukan banyak aktivitas dulu. Selain itu gue juga merasa agak tertekan dengan kondisi suami gue. Sampai akhirnya di kedatangan kita ke 2 periksa kandungan. "Duk duk duk", terdengar suara denyut jantung dari mesin fetal dopler. Seketika semua ketakutan itu runtuh. Gue akan jadi ibu. Siap atau engga siap. Allah sudah memberi amanah. Allah pasti akan memberi jalan.
Selama hamil, gue termasuk engga nyidam. Yang gue sadar dan gue pelajari adalah bahwa entah kenapa ketika hamil itu sebenarnya di otak sering kali mengingat memori-memori masa lalu, entah tentang keadaan atau pun tentang makanan yang pada akhirnya membuat kita menuturkan "Ingin makan (sesuatu)". Jadi gue berusaha sewaras mungkin untuk tidak terlalu menginginkan sesuatu.
Gue tetap menjalankan puasa ketika hamil. Karena menurut gue, gue mampu untuk puasa dan gue ingin anak gue nanti menjadi anak yang taat kepada Tuhannya. Hamil bukanlah orang sakit.
 |
Bayi 2 Bulan |
 |
Bayik 2 Bulan Ikut Mudik ke Lebuh, Kepulauan Riau |
Memasuki bulan ke 4, ada sesuatu yang aneh pada diri gue. Kalau keluar rumah, entah ke mall atau belanja di supermaket tiba-tiba aja gue roboh. Mendadak gue keluar keringat dingin, dan perlahan pandangan gue jadi terang (silau). Hal ini terjadi sampai usia kandungan 7 bulan.
Sejak usia kandungan 35 minggu, perut gue sering sakit. Tulang punggung belakang gue ga karuan rasanya. Gue juga ga paham apakah ini namanya kontraksi atau bukan. Usia 36 minggu gue diungsiakan suami ke Solo. Akhirnya dokter memberi gue obat penguat sampai usia kandungan 37 minggu. Kata dokter yang penting nanti masuk ke usia 37 minggu, insyaallah dedek sudah siap keluar.
 |
Bayi 5 Bulan Wisuda |
Hari demi hari berlalu. Gue di Solo dengan kegerahan yang amat sangat. Gue sangat kesal memang sama suami. Gue bilang gue ga mau di Solo. Tapi tetap saja suami menyuruh gue buat di Solo. Selama di Solo kegiatan rutin gue senam di Rumah Sakit pun kandas mengingat dokter bilang gue harus bedrest.
38 Minggu kurang sehari. Minggu, 20 Januari 2019. Perut gue mulai mulas sedari dini hari. Gue bangun, baca quran dan mencatat interval mulas. Entah kenapa gue ngrasa kalau gue mau lahiran. Jam 3 pagi akhirnya gue bangunin ibu mertua, karena gue panik setelah mendapati ada bercak di celana dalam gue. Kita ga lantas langsung ke rumah sakit. Gue bilang ke ibu kalau nanti saja setelah subuh. Akhirnya setelah subuh kita berangkat ke Rumah Sakit Triharsi (Rumah sakit rekomendasi ibu mertua gue). Dan ternyata ketika dicek, gue baru bukaan satu.
Bolak-balik ke WC karena rasanya pengen kencing terus. Makin lama makin sakit pula ini perut. Akhirnya tepat jam 13.00 WIB gue bukaan lengkap. Gue meronta-ronta kesakitan. Jangan tanya seberapa sakitnya. Dalam otak gue, "Ya Allah ampunilah hamba, semoga semua ini engkau gantikan dengan rumah di Surga". Prosesi persalinan pun dimulai, gue disuruh mengejan ketika perut gue sakit. Satu jam berlalu. Gue berfikir kenapa bayi ini ga keluar-keluar, padahal kepala sudah terlihat. Setengah 3 sore, akhirnya dokter yang bertanggungjawab atas persalinan gue dateng juga. Setelah sebelumnya dia sibuk dengan seminarnya. Gue bingung, kenapa nasib gue naas gini. Lahiran cuma ditungguin sama embak-embak bidan. Waktu dia dateng, dia cuma bilang "Udah bu, kita sesar aja ya. Soalnya sudah satu setengah jam sejak ibu mulai mengejan, tapi bayinya tidak mau keluar. Kalau dilihat dari kondisi ibu memang bayinya susah keluar, pinggul ibu terlalu kecil dan tinggi badan ibu juga pendek." Gue saat itu yang udah pasrah banget, iya iya aja. Gue penasaran, kenapa dokter bilang sesar tapi gue gak lekas ditindak. Usut punya usut akhirnya gue mendengar bahwa gue harus dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih besar. Ya Allah berapa lama lagi gue harus melewati ini semua.
Di dalam mobil ambulance gue cuma berdoa semoga lekas sampai, lekas selesai penderitaan ini. Pandangan gue tiba-tiba kabur. Gue hampir menyerah. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja seperti ada bisikan dan hembusan hangat yang membuat gue sadar lagi.
Dokter-dokter itu berkumpul mengelilingi gue. Entah berapa banyak, mungkin 10. Di puncak penderitaan gue, ada dokter yang mengecek kondisi gue. Gue ingat betul rasanya, dia sepertinya memasukkan tangannya ke vagina gue terus memutar tangannya. Ughhh sakit sekali Ya Allah. Namun berkat dari dia lah, gue tetap diusahakan untuk lahiran normal. Waktu itu gue ditanya sama salah satu dokter, "Ibu perutnya sakit ya? Mules banget ya bu? Kalau iya ibu ngejan aja". Ketika mules pertama, dengan posisi miring gue mengejan sekuat tenaga. Bayi teteap tidak mau keluar. Kemudian gue kembali ke posisi awal, gue mengejan lagi. Belum juga mau keluar. Dalam hati, gue bicara sama bayi, "Dek ayo keluar, mama pengen ketemu nih". Jam 15.35 WIB gue kembali mengejan, semua dokter yang ada di ruangan itu berteriak menyemangati gue. Gue pun kembali bersemangat setelah gue merasa menyerah. "Uweeeee", akhirnya teriakan kencang itu gue dengar. Bayi gue keluar. Anak gue lahir dengan selamat dan yang paling lega adalah gue ga mules lagi, perut gue terasa longgar.
Setelah proses persalinan yang drama itu, beberapa saat gue merasakan hangatnya si bayi di perut gue. Gak IMD memang, mungkin itulah yang terbaik buat kami saat itu. Mengingat proses persalinan kita yang tidak mudah. Setelah proses yang cukup melelahkan, dokter pun melanjutkan menjait jalan lahir bayi gue. Kata dokter, jaitannya banyak. Karena ada bengkak juga, dan sebelum dijait dokter langsung menawari KB IUD dengan periode 5 tahun. Gue pun iya iya aja, karena jujur gue sudah sangat tidak kuat. Gue capek, gue pengen istirahat dan pengen lihat bayi gue. Gue pengen tahu berat badannya, panjangnya.
Selesai persalinan, jam 16.30 WIB akhirnya suami gue ada di samping gue. Sedari tadi gue ga nangis sama sekali. Entah kenapa setelah gue lihat wajah dan memegang tangan suami gue, tiba-tiba aja air mata itu keluar. Aku cuma bilang, "Papin uda lihat dedek? Udah diadzanin belum?".
3 Hari setelah lahiran,
Baru juga masuk ke ruangan dokternya, dokter langsung bilang "Loh bu, itu bayinya kuning. Tolong baringkan biar saya periksa lebih lanjut". Emak mana coba yang gak syok ketika dokternya bilang gitu? Lalu sang dokter bilang, "Bu bayi-nya diopname saja ya". Gue skot jantung men. Nih yang patut kalian tahu, proses BPJS itu sulit sekali broh. Kita kalau mau make fasilitas BPJS harus punya surat rujukan dari faskes 1 yang kita pilih. Nah di kasus bayi gue ini, karena faskes 1 nya adalah puskesmas yaudah kita harus pergi ke puskesmas siang-siang. Dan you know gaes, gue tuh ga ngerti sama sekali kenapa Puskesmas di Indonesia ini kalau sudah siang hari, jam 11.00 WIB misalnya para pegawai atau petugasnya tuh ga melayani lagi jika ada yang mau pendaftaran pasien periksa. Dari situ gue uda hopeless aja pake BPJS, terus gue bilang sama suami "Uda kita pake umum aja, bayar aja gapapa. Insyaallah ada uangnya. Nanti Allah kasih lagi ke kita pasti.", suami gue yang ngliat gue gendong bayi sambil sesenggukan iba juga pasti, mengingat gue lahiran aja sulit.
Setelah kita mutusin mau pake pembiayaan umum, kita balik lagi ke dokter yang meriksa bayi. Tapi yang gue bingung adalah dokter ngejelasin A-Z bahwa ga harus hari itu juga bayi diopname, kalau pun mau diopname secara langsung eman-eman juga BPJS-nya tidak terpakai karena kita sudah bayar. Dokternya juga bilang kalau gue jangan nangis, kasihan bayinya nanti ikutan sedih. Karena dokter uda bilang gitu, yauda akhirnya kita berfikir buat mengopname bayi di esok hari. Terus gue kontrol buat gue sendiri.
Asak usuk, gue dikasih saran oleh seorang suster tentang masalah bayi. Gue disuruh nyoba ke IGD. Akhirnya berhasil, meskipun nunggu agak lama tapi ga masalah buat gue. Selama proses, gue sama suami nunggu dengan sabar. Di situ gue liat suami gue begitu kelelahan dan ngantuk, matanya merah. Lalu gue suruh dia pulang buat istirahat sebentar. Tinggallah gue di rumah sakit sendirian, wira-wiri mengurus bayi sendirian. Mana sejak pagi gue belum makan.
Bayi akhirnya dipindah ke ruang HCU, gue nangis. Pikiran gue kemana-mana. Gue ngerasa sangat bersalah, bayi baru saja lahir belum tahu apa-apa tetapi dia sudah diuji dengan berbagai macam hal. Setelah menyelesaikan beberapa urusan bayi, gue dijemput bapak gue. Gue dijemput buat beli beberapa perlengkapan buat bayi. Sepanjang perjalanan gue dikasih masukan, dikritik, dan lain-lain perihal suami gue. Nangis uda tentu lah, siapa sih orang tua yang ga khawatir dengan keadaan anaknya. Gue cuma minta mohon doanya saja.
***
Sekarang anak gue udah sehat 20 April nanti 3 bulan, udah bisa ngoceh, uda bisa miring-miring sendiri badannya. Masyaallah.
Selanjutnya kami belajar bersama, menikmati hari-hari bersama. Gue sebagai ibu dan bayi sebagai anak gue.
Bandung, 11 April 2019 | ©www.anitasarisukardi.com
Image Source: Personal Album